| Menjadi pribadi yang resilien |
Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan kita tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang kita alami. Melainkan sejauh mana kita memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang terpahit sekalipun. Tiap orang memiliki kapasitas resilien lebih dari yang mereka sadari. Sayangnya kita cenderung terpuruk dalam kegagalan dan larut dalam kesedihan. Padahal kita perlu yakin bahwa badai pasti berlalu dan bahkan ada pelangi setelah hujan. Peristiwa buruk tidak hanya akan berlalu, tetapi juga dapat membawa kebaikan. Inilah salah satu kunci kebahagiaan mengingat hidup tidak hanya berisikan hal-hal menyenangkan.Menurut teori Reivich dan Shatte9, individu yang resilien ditandai oleh adanya kestabilan dalam pengelolaan emosi (emotion regulation), kemampuan berempati (emphaty), kemampuan merasakan sesuatu hal yang berhasil dicapai (reaching out), kemampuan mengendalikan diri (impuls control), sikap optimis (optimism), kemampuanmenganalisis permasalahan (causal analysis), serta keyakinan diri untuk mengerjakan suatu tugas (self efficacy).
Lebih jauh, Reivich dan Shatte,11 menguraikan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu;
Pertama, pengendalian emosi. Yaitu, suatu kemampuan untuk tetap tenang meskipun berada di bawah tekanan. Individu yang
mempunyai resiliensi yang baik, menggunakan kemampuan positif untuk membantu mengontrol emosi, memusatkan perhatian dan perilaku. Mengekspresikan emosi dengan tepat adalah bagian dari resiliensi. Individu yang tidak resilient cenderung lebih mengalami kecemasan, kesedihan, dan kemarahan dibandingkan dengan individu yang lain, dan mengalami saat yang berat untuk mendapatkan kembali kontrol diri ketika mengalami kekecewaan. Individu lebih memungkinkan untuk terjebak dalam kemarahan, kesedihan atau kecemasan, dan kurang efektif dalam menyelesaikan masalah.
Kedua, kemampuan untuk mengontrol impuls. Kemampuan untuk mengontrol impuls berhubungan dengan pengendalian emosi. Individu yang kuat mengontrol impulsnya cenderung mempu mengendalikan emosinya. Perasaan yang menantang dapat meningkatkan kemampuan untuk mengontrol impuls dan menjadikan pemikiran lebih akurat, yang mengarahkan kepada pengendalian emosi yang lebih baik, dan menghasilkan perilaku yang lebih resilient.
Ketiga, optimis. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan akan masa depan dan dapat mengontroal arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan tidak mudah mengalami depresi. Optimis menunjukkan bahwa individu yakin akan kemampuannya dalam mengatasi kesulitan yang tidak dapat dihindari di kemudian hari. Hal ini berhubungan dengan self efficacy, yaitu keyakinan akan kemampuan untuk memecahkan masalah dan menguasai dunia, yang merupakan kemampuan penting dalam resiliensi. Penelitian menunjukkan bahwa optimis dan self efficacy saling berhubungan satu sama lain. Optimis memacu individu untuk mencari solusi dan
bekerja keras untuk memperbaiki situasi.
Keempat, kemampuan untuk menganalisis penyebab dari masalah. Analisis penyebab menurut Martin Seligman adalah gaya berpikir yang sangat penting untuk menganalisis penyebab, yaitu gaya menjelaskan. Hal itu adalah kebiasaan individu dalam menjelaskan sesuatu yang baik maupun yang buruk yang terjadi pada individu. Individu dengan resiliensi yang baik sebagian besar memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara kognitif dan dapat mengenali semua penyebab yang cukup berarti dalam kesulitan yang dihadapi, tanpa terjebak di dalam gaya menjelaskan tertentu. Individu tidak secara refleks menyalahkan orang lain untuk menjaga self esteemnya atau membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Individu tidak menghambur-hamburkan persediaan resiliensinya yang berharga untuk merenungkan peristiwa atau keadaan di luar kontrol dirinya. Individu mengarahkan dirinya pada sumber-sumber problem solving ke dalam faktor-faktor yang dapat dikontrol, dan mengarah pada
perubahan.
Kelima, kemampuan untuk berempati. Beberapa individu mahir dalam menginterpretasikan apa yang para ahli psikologi katakan sebagai bahasa non verbal dari orang lain, seperti ekspresi wajah, nada, suara, bahasa tubuh, dan menentukan apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Walaupun individu tidak mampu menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, namun mampu untuk memperkirakan apa yang orang rasakan, dan memprediksi apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain. Dalam hubungan interpersonal, kemampuan untuk membaca tanda-tanda non verbal menguntungkan, dimana orang membutuhkan untuk merasakan dan dimengerti orang lain.
Keenam, self efficacy. Self efficacy adalah keyakinan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah, mungkin melalui pengalaman dan keyakinan akan kemampuan untuk berhasil dalam kehidupan. Self efficacy membuat individu lebih efektif dalam kehidupan. Individu yang tidak yakin dengan efficacy-nya bagaikan kehilangan jati dirinya, dan secara tidak sengaja memunculkan keraguan dirinya. Individu dengan self efficacy yang baik, memiliki keyakinan, menumbuhkan pengetahuan bahwa dirinya memiliki bakat dan ketrampilan, yang dapat digunakan untuk mengontrol lingkungannya.
Ketujuh, kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan. Resiliensi membuat individu mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam kehidupan. Resiliensi adalah sumber dari kemampuan untuk meraih. Beberapa orang takut untuk meraih sesuatu, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, bagaimanapun juga, keadaan menyulitkan akan selalu dihindari. Meraih sesuatu pada individu yang lain dipengaruhi oleh ketakutan dalam memperkirakan batasan yang sesungguhnya dari kemampuannya.
Demikianlah, ketujuh kemampuan resiliensi yang akan mempengaruhi kebahagiaan manusia. Kepribadian resiliensi merupakan sumber kebahagiaan yang dapat menjadi alternative sumber kebahagiaan yang ada dalam diri individu.
Komentar